hu-pakuan.com - Pemilu adalah momen terbesar dalam pesta demokrasi dan menguji nilai integrasi bangsa. Seberapa besar ikatan persatuan bangsa ini ketika dihadapkan dengan pilhan politik yang berbeda? Akankah kita sebagai bangsa yang besar dan terkenal sebagai negara demokratis (urutan ke 52 dunia pada tahun 2021) [1]akan jatuh kembali pada polarisasi “kampret dan Cebong” sebagaimana Pemilu 2019?
Mengutip hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diterbitkan pada tanggal 10 Juli 2023, lebih dari 56 persen responden memprediksi akan terjadi polarisasi Pemilu 2024. Sebagian besar responden mendeteksi gejala polarisasi tersebut di layanan jejaring sosial. Bentuk polarisasi yang banyak ditemukan adalah saling cibir pilihan politik (30,9 persen), ujaran kebencian bermuatan politik (26,7 persen), dan mulai aktifnya buzzer (21,5 persen). (Sumber: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/07/10/tantangan-menepis-polarisasi-politik-pemilu-2024).
Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dan Pemilihan serentak 2024 yang dipublikasikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dikutip dari Indonesiabaik.id, Bawaslu telah melakukan pengukuran tingkat kerawanan konflik, dimana kategori rawan tinggi berpotensi akan terjadi di DKI Jakarta dengan skor 88,95, Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86), Jawa Barat (77,04), dan Kalimantan Timur (77,04). Kategori rawan sedang berpotensi terjadi di 21 provinsi, antara lain Banten (66,53), Lampung (64,61), Riau (62,59), Papua (57,27), dan Nusa Tenggara Timur (56,75). Sisanya termasuk ke dalam kategori rawan rendah, antara lain Kalimantan Utara (20,36), Kalimantan Tengah (18,77), Jawa Timur (14,74), Kalimantan Barat (12,69), dan Jambi (12,03).
Polarisasi adalah sebuah proses di mana masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat membagi diri mereka menjadi dua kelompok atau lebih yang memiliki pandangan atau keyakinan yang sangat berlawanan atau ekstrim terhadap suatu isu atau topik tertentu. Ini dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk politik, sosial, agama, dan budaya. Dalam polarisasi, kelompok-kelompok tersebut sering kali cenderung merasa semakin terpisah dan tidak bersedia untuk mencari titik tengah atau kesepakatan dengan kelompok yang berlawanan.
Pengalaman drama polarisasi politik umum ditemui dalam Pemilu 2019 dan telah mencederai persatuan bangsa, masyarakat terpolarisasi secara kuat dengan retorika yang keras dan konfrontasional satu dengan yang lainnya. Polarisasi politik dapat mengganggu proses pembuatan kebijakan, meningkatkan ketegangan sosial, dan mengancam stabilitas politik. Saat ini pun gejala polarisasi semakin tampak, kita harus bersama-sama mencegahnya dengan mempromosikan persatuan, menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam konteks politik dan masyarakat Indonesia. Pendidikan Nilai-nilai Pancasila, Kampanye Kesadaran Publik, Dialog Antar-Kelompok dalam mendorong pihak-pihak politik untuk mengutamakan budaya toleransi dan dialog dalam kampanye politik mereka. Debat yang beradab dan menghormati perbedaan pendapat harus dipromosikan, mendorong partisipasi politik masyarakat dalam pemilu dan proses politik. Ketika warga merasa mereka memiliki peran dalam pembentukan kebijakan, ini dapat mengurangi polarisasi. Pengalaman polarisasi bangsa ini yang seolah terpecah menjadi dua karena perbedaan pilihan politik membutuhkan peran semua pihak untuk berkomitmen dalam mewujudkan hal-hal sebagai berikut:
Pembentukan Partai Politik dengan Konsensus Politik Pancasila: dengan mendorong partai politik membangun platform politik Pancasila, yang berfokus pada konsensus bersama dalam menjalankan rangkaian aktifitas politik dengan nilai dan moral Pancasila, bukan polarisasi politik sebagai sumber perpecahan bangsa. Pelaku-pelaku politik harus berusaha mencapai kesepakatan dan solusi yang menguntungkan semua warga negara demi tujuan pemilu untuk melanjutkan pemerintahan dalam mengisi kemerdekaan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Promosi Hukum dan Keadilan dengan moral dan nilai Pancasila: dengan menjamin penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelanggaran pemilu. Keadilan dalam hukum Pancasila sebagai sumber hukum Indonesia akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dengan keadilan yang hakiki.
Pengawasan Media yang Lebih Baik: dengan memastikan media memberikan informasi yang seimbang dan objektif. Lembaga regulasi media harus bekerja lebih keras untuk mengawasi konten yang bersifat provokatif dan memicu polarisasi. Menggelar kampanye sosialisasi yang intensif mengenai nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan semangat persatuan. Ini dapat membantu memperkuat identitas nasional yang beragam.
Transparansi Pemilu: dengan meningkatkan transparansi dalam proses pemilu, mulai dari pemilihan hingga penghitungan suara. Ini akan membantu mengurangi kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu. Keterlibatan Lembaga Sipil mendorong peran lembaga sipil, termasuk LSM dan organisasi masyarakat sipil, dalam memantau dan mendukung integritas pemilu.
Pembatasan Uang dalam Kampanye: membatasi jumlah uang yang dapat digunakan dalam kampanye politik. Hal ini dapat mengurangi pengaruh keuangan dalam politik dan mencegah polarisasi yang mungkin muncul karena persaingan finansial.
Selain komitmen semua pihak di atas, elit politik sebagai aktor utama harus menjadi mediator mendamaikan dalam konflik politik dan fokus pada kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, sehingga mengurangi ketidakpuasan sosial yang dapat memicu polarisasi dan aktif menggerakkan masyarakat dalam menyebarkan budaya toleransi, pengawasan pemilu yang ketat, menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan sehari-hari dan dalam kebijakan politik adalah langkah yang penting untuk memperkuat persatuan dan mengurangi polarisasi di Indonesia.
Pemimpin harus memberikan contoh positif dalam mendukung nilai-nilai ini dan bekerja sama dengan semua pihak untuk menciptakan lingkungan yang lebih harmonis. Itulah Pancasila yang telah terbukti mampu menyatukan kita semua Bangsa Indonesia.
Mencegah polarisasi dalam pemilu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila adalah tanggung jawab bersama semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, media, dan masyarakat. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip persatuan, toleransi, dan keadilan, Indonesia dapat menjalani pemilu yang lebih damai dan harmonis. Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilu harus menjaga netralitasnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
Pancasila harus selalu menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila adalah dasar negara yang mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh negara Indonesia, dan itu termasuk persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, seperti Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu) dan semangat persatuan, masih dijunjung tinggi sebagai fondasi yang mengikat beragam masyarakat Indonesia.
Pesta Demokrasi pada Tahun 2024 yang akan memakan biaya yang begitu besar hingga mencapai 76 T (sumber:indonesiabaik.id) jangan sampai menjadi kisah Kampret dan Cebong Jilid Dua.
Penulis adalah Kelompok I Angkatan V PKP 2023 Puslatbang PKASN LAN.
Editor: Cepasrob